Puja Ganesha

Om Gam Ganapatye Namaha

Kamis, 15 Maret 2012

PELAJARAN BARU HARI INI

Pada hari ini, sebagaimana juga pada hari - hari sebelumnya, aku terlibat dalam diskusi group AA4. group ini menjadi satu-satunya group di BB milikku. aku memang hanya menyukai group ini, sehingga group lain tidak memiliki tempat di BBku apalagi di hatiku. pembahasan di group itu sangat menginspirasi. aku tidak bermaksud membuat testimoni. aku tidak dibayar oleh siapapun untuk membuat pernyataan "kebenaran" ini. ini adalah kisahku. ini adalah pengalamanku. ini adalah fakta.
tema pembahasan group adalah mengenai "menjadi eling". mengapa tema hari ini begitu berarti buatku? aku manusia paling egois, aku mudah marah, sangat fluktuatif dan bahkan meledak ledak. Andaikan Guru ada di dekatku maka sudah dipastikan aku ditampar tiap hari. Guru akan "marah besar" tiap hari padaku. bagaimana tidak, aku terlalu SOK, tidak bisa sabar apalagi rendah hati. aku hakim saat ini yang tengah menghakimi diriku sendiri atas perbuatanku hari ini. hari ini, sembahyang OK, marah-marahpun OK. seolah2 aku terus sembahyang sekaligus terus marah.
kembali pada diskusi hari ini, chat di group itu menuliskan tentang sifat kita yang tidak memandang kehadiran sang Keberadaan dalam segala bentuk. kita akan marah jika seseorang bertindak kasar pada kita, sedangkan kita tidak marah ketika seorang "GURU" bertindak kasar dengan kita. kurenungkan bahwa tak ada apapun didunia ini yang bukan GURU, semua Guru. semua hal adalah Guru. kita mesti belajar dari semua hal. apakah bedanya seorang "GURU" dengan "seorang yang marah2" pada kita. keduanya adalah Guru. semestinya tidak satupun dapat mempengaruhi kita. ternyata selama ini aku terbelenggu, aku membedakan dengan cara bodoh. aku membedakan dengan tidak menggunakan viveka. aku akan marah manakala seseorang berkata kasar padaku, tapi aku tidak marah seandainya Sri Krishna "menamparku" dengan cara - cara-Nya. apakah bedanya "seseorang yang bukan Krishna" dan Sri Krishna sendiri? secara mata fisik, keduanya memang berbeda. tapi bagaimana jika Sri Krishna menyamar menjadi "seseorang?" bukankah setiap orang adalah Atman yang sama?
tak perlu marah.... santai. jangan terlalu serius. hiduplah dalam kegembiraan. itulah pelajaran hari ini.
inilah renunganku malam ini. ku renungkan semua perbuatanku menjelang tidur. ku serahkan segala sesuatunya pada Bunda Mahamaya, Bunda alam semesta. tuntunlah aku selalu sehingga aku tetap "sadar" tentang diriku. maafkan aku, ampuni aku. semoga hari2ku esok berjalan dengan penuh kesadaran akan Kasih....
tulisan ini ku persembahkan pada-Mu Bunda.
untuk anakku tercinta, Bhadrika Sanwani Widya Prathiwi. maafkanlah Ibumu ini. Kaulah Guruku hari ini. maafkan jika Ibu terlalu sering mengabaikanmu, sesungguhnya Ibu tidak demikian, hanya saja, ibu masih sangat harus banyak bersabar...

Minggu, 11 Maret 2012

TILOPA DAN NAROPA

KISAH INI DIANGKAT DARI BUKU BAPAK ANAND KRISHNA YANG BERJUDUL TANTRA YOGA

Naropa dilahirkan dalam keluarga Brahmana. Kelompok masyarakat yang sangat dihormati bukan karena kekayaan atau kepemilikan mereka, tetapi karena pengetahuan mereka. Naropa berasal dari Lembah Kashmir, dekat Shrinagar. Tahun kelahiran serta kematiannya sudah dapat dipastikan antara 1016 dan 1100 SM.
Ketika usia 16 tahun, ia sudah dinikahkan. Dalam usia semuda itu ia memang sudah mandiri, sudah bisa mencari nafkah. Dia seorang ilmuan yang menguasai beberapa cabang ilmu, sehingga mudah memperoleh pekerjaan.
Sejarah mencatat bahwa pada usia 33 tahun (tahun 1044) dia sudah menjadi pengajar di Universitas Nalanda. Saat itu universitas Nalanda dianggap sebagai universitas yang paling bergengsi. Mahasiswanya tidak hanya berasal dari India, tetapi berasal dari Mancanegara. Mungkin juga ada dari Indonesia.
Pada suatu hari terjadi perang mulut antara Naropa dan salah seorang pejabat disana. Naropa marah, marah besar, tetapi harus menahan diri karena sang pejabat masih punya hubungan dengan keluarga Raja dan universitas Nalanda disubsidi oleh kerajaan. 
“Bisa – bisa aku dikeluarkan dari universitas ini”, pikir Naropa.
Dan dia mengalah. Mengalah bukan karena sadar. Mengalah karena terpaksa. Alhasil api dendam di dalam diri membuatnya gelisah.
Dan dia memutuskan….. untuk membunuh pejabat itu. Gampang, dia tidak perlu menggunakan pedang atau parang. Cukup dengan Mantra. Dia ingin menggunakan salah satu Mantra untuk mencelakakan pejabat yang didendaminya. Gampang, dia harus mengucapkan mantra itu 100.008 kali, - tak terputus. Dan keinginannya akan tercapai.
“Hukum karma? ah, itu urusan belakang. Yang penting, aku harus memberi pelajaran kepada pejabat itu”,- pikir Naropa.
Dia lupa kalau nanti orangnya sudah mati, mau memberi pelajaran apalagi? Dalam kegelapan hati itu, dia sudah tidak mampu melihat dengan jernih. Naropa mencari tempat yang agak sepi, sunyi. Dan mulailah ia mengucapkan Mantra dengan tujuan untuk membunuh pejabat yang didendaminya. Sudah 100.000 kali. Tinggal delapan kali lagi. Eh ada seorang wanita yang mengganggu dia :
Wanita : “lagi ngapain kamu?”
Naropa kesal, marah. Tapi nasi sudah jadi bubur. Dia sudah terlanjur membuka mata. Konsentrasi sudah memudar. Pengulangan mantrapun terputus.
Naropa :  “sialan, siapa kamu dan kenapa menggangguku?”,
Wanita :
“Justru yang ingin kutanyakan siapa kamu?” Karena, sebelumnya aku tidak pernah melihatmu. Padahal tempat tinggalku tidak jauh dari sini. Kamu lagi ngapain?”

Dari suara dan cara dia bicara, Naropa menyimpulkan bahwa, wanita itu dari kasta rendah, dari kelompok masyarakat yang bodol, tolol. Dan tanpa Basa basi, sambil memarahinya lagi,
Naropa menjawab :
“kamu sungguh bodoh. Tidak pernah melihat seorang Brahmana mengulangi Mantra? Kamu tidak tahu bahwa dalam keadaan itu, dia tidak boleh diganggu. Gara – gara kamu aku harus mengulangi mantra itu dari awal lagi”.
Wanita : “Mantra? Mantra apa? Mau dong mau dong. Aku juga mau belajar.”
Naropa : “Dasar tolol, mantra – mantra ini bukan untuk orang seperti kamu. Kalau sudah cukup bijak, baru boleh mempelajarinya.”
Wanita : “Kamu pasti seorang Brahmana, orang bijak, berpendidikan tinggi, sehingga bisa hafal Mantra.  Boleh tanya, tujuanmu apa?”
Naropa : aku ingin membunuh salah satu pejabat di Nalanda University
Wanita : (tertawa terbahak – bahak : hahahahahahaha).  kamu mau membunuh dengan mantra? Kalau begitu, bisa juga dong menghidupkan dengan Mantra?
Naropa baru sadar bahwa dirinya tidak bisa menghidupkan orang dengan mantra.
Wanita : “Brahmana, kalau kamu belum bisa menghidupkan orang dengan mantra ya jangan membunuh dengan mantra. Pengetahuanmu masih setengah setengah.”
Naropa menyesali niatnya dan mengucapkan terimakasih pada wanita itu, beberapa hari kemudian Naropa kembali ke tempat yang sama. Dia sudah jatuh cinta dengan kesepian dan keheningan tempat itu. Duduk dibawah pohon yang rindang, dia membuka salah satu buku yang dibacanya dan mulai membaca. Datang lagi wanita yang sama,
Wanita : “Brahmana, sedang membaca apa?”
Naropa : “Ajaran Sang Buddha, Siddhartha Gautama”
Wanita : “Mau dong, dibacain. Boleh nggak aku duduk disini”.
Naropa : Silahkan… “  (dan dia mulai membacakan buku itu.)
Wanita : “Brahmana, Brahmana, kamu tahu artinya nggak?”
Naropa (dalam pikiran) : (agak kesal) Sudah dibacain, malah melunjak. Dia pikir aku ini siapa? Kalau tidak tahu arti untuk apa membacanya? Tetapi kalau mengingat kejadian sebelumnya. Karena dia, aku tidak jadi membunuh.
Dan dengan tenang diapun menjawab,
Naropa: ya aku tahu artinya.
Wanita : Ah nggak, sepertinya engkau tidak tahu arti apa yang sedang kau baca. Yang tahu arti hanyalah Tilopa. Dia saudaraku. Kalau kamu mau tahu arti, harus mencari dia.
Setelah berkata demikian wanita itu lenyap menghilang.
Naropa tercengang….
Selanjutnya entah apa yang terjadi pada Naropa, ia tidak bisa melupakan nama yang disebut oleh wanita itu. Tilopa, Tilopa, Tilopa
Dia harus bertemu dengan Tilopa. Dicari disekitar kampus, tidak ada yang mengenalinya. Naropa semakin penasaran. Mengajar tidak bisa, tidur tidak enak, makan dan minumpun terlupakan. Sudah tidak tahan lagi akhirnya Naropa mengundurkan diri dari universitas. Dan bukan hanya itu, ia pamit pada istrinya.
Dan mulailah pengembaraan Naropa…
Selama lebih dari 1 tahun, dia keliling India. Dari selatan ke utara, kemudian kearah Timur. Modalnya hanya 1- intuisi. Karena tak seorangpun bisa memberi petunjuk tentang Tilopa, tak seorangpun pernah dengar nama itu. Naropa tidak putus asa. Dia mencari terus. Banyak pengalaman yang diperolehnya dalam perjalanan. Ada beberapa yang sangat menarik :
Pertama dia bertemu dengan seorang wanita tua berpenyakit kusta.
Wanita Kusta: sepertinya kamu seorang Brahmana. Mau kemana?
Naropa : Sedang mencari seseorang bernama Tilopa.
Wanita Kusta : Ah, Tilopa!
dari cara wanita itu menyaut dan menyebut nama Tilopa, Naropa pikir dia mengenalinya.
Naropa :Kamu kenal dia?
Wanita Kusta: Tidak , tidak. Siapa yang mau berkenalan dengan saya? Sudah tua, berpenyakit kusta lagi. Sudah 2 hari aku mencari seseorang yang bisa menggantikan perban dikakiku. Tidak ada yang bersedia. Takut ketularan penyakitku.
Naropa cepat cepat menyalami dia dan melanjutkan perjalannya.
Naropa : (dalam Pikiran) Tidak, akupun tidak akan mengganti perbanmu. Kalau aku tertular…..
Baru berjalan sebentar, dari belakang ada yang memanggil nama dia :
Tilopa : Naropa, Naropa, aku Tilopa. Kamu tidak mengenaliku. You missed me!
Naropa : (menoleh kebelakang), “jangan – jangan…..” eh betul, wanita tua itu sudah lenyap. Berarti dia Tilopa. Menyamar sebagai wanita tua berpenyakit kusta.
Naropa menyesali ketidak peduliannya terhadap penderitaan orang lain. Sang Guru, Tilopa sudah mulai memberi pelajaran kepada Naropa. Peduli terhadap penderitaan orang lain. Itulah pelajaran pertama yang diperolehnya.
Selanjutnya selama berbulan – bulan Naropa akan mendekati setiap orang yang sakit yang dijumpainya dalam perjalannya. Dia akan membantu mereka, mendengarkan kisah mereka. Berupaya untuk meringankan beban mereka. Tetapi semua itu dia lakukan dengan harapan. : siapa tahu, Tilopa ada diantara mereka. Ternyata tidak ada. Murid lain akan putus asa. Naropa tidak putus asa. Dia melanjutkan pengembaraannya.
Pada suatu hari, Naropa digonggongi oleh seekor anjing. Anjing biasa, anjing jalanan. Kemanapun Naropa pergi, dia akan membuntutinya. Mengonggonginya. Tidak melakukan apa – apa lagi. Cuma menggonggongi dan membuntuti Naropa. Eh Naropa kesal juga. Dilepari batu. Kena kaki anjing dan keluar darah. Tetapi langsung diam. Naropa baru menoleh ke depan, ada yang menegurnya :
Tilopa : Naropa, Naropa, aku Tilopa. Kamu tidak mengenaliku. You missed me!
Suara sama, suara Tilopa. Ternyata anjing itupun…… ya, seorang Guru bisa melakukan apa saja, bisa “menjadi’ apa saja. Demi kebaikan muridnya.
Naropa pun sadar bahwa dia tidak boleh membedakan hewan dari manusia. Kasih terhadap semua mahkluk hidup harus sama dan sebanding. Lagi pula anjing itu kan hanya menggonggongi dia hanya membuntuti dia. Tidak melukai dia, tidak melakukan apa – apa. Kenapa harus dilempari batu? Itulah pelajaran kedua yang diperolehnya.
Naropa melanjutkan perjalannya, dan sampailah Naropa di Bengal, dan dia yakin bahwa akan bertemu dengan Tilopa di Negara bagian tersebut. Tidak lama kemudian, dia bertemu dengan seorang penjual kayu.
Naropa : “ apakah kamu pernah mendengar nama Tilopa?
Si penjual kayu : Untuk apa mencari Tilopa?
Naropa : Aku ingin berguru…. Ingin belajar dibawah bimbingannya?
Si penjual Kayu : Pelajaran itu beban. Persis seperti kayu yang kupikul. Aku masih bisa menjual kayu ini. Bisa memperoleh uang. Engkau bisa dapat apa? Kalau sudah belajar mau diapakan pelajaran itu?
Naropa sempat kesal. Terus berpikir kembali. Untuk apa berdebat dengan orang bodoh? Maka dia menyalaminya dan hendak pergi.
Baru mau jalan… orang itu lenyap. Terdengar kembali suara yang ia kenal
Tilopa : Naropa, Naropa, aku Tilopa. Kamu tidak mengenaliku. You missed me!
Naropa : (dalam Pikiran) Wah goblok benar aku, setiap kali nggak ngenalin sang Guru.
Pelajaran ketiga bagi dia – jangan menganggap remeh siapapun  juga.
Naropa melanjutkan perjalanan dan pencariannya. Pada suatu hari, dia bertemu dengan seorang penjaga tempat perabuan mayat, dia sedang meremukkan tulang – tulang yang tidak terbakar. Biasanya abu dan sisa tulang itu akan dihanyutkan ke dalam sungai. Yang aneh, Naropa melihat ratusan tenggorak
Naropa: “begitu banyak orang yang meninggal pada hari yang sama?”
si penjaga Perabuan:  “ya, ya, banyak sekali. Mau bantu?”
Naropa :“ogah ah
baru mau menajutkan penjalan, si penjaga lenyap. Naropa mendengar suara
Tilopa : Naropa, Naropa, aku Tilopa. Kamu tidak mengenaliku. You missed me!

Pelajaran keempat : pekerjaan adalah pekerjaan, jangan menganggap yang satu lebih baik dari yang lain.
Seorang penjaga tempat perabuan, sedang bekerja demi sesuap nasi dia sedang mencari nafkah. Seorang Naropa sedang mencari pencerahan. Setiap orang sedang mencari dan selama pencarian kita belum  berhenti, kita semua sama. Yang sedang mencari harta, tahta dan wanita kita anggap orang biasa. Manusia biasa. Yang sedang mencari pencerahan, kesadaran Tuhan kita anggap manusia luar biasa. Orang hebat. Padahal sami mawon. Semuanya masih lapar, masih belum kenyang.
Tidak lama kemudian…. Dia melihat orang dengan kedua kaki dan tangannya terikat. Tergeletak diatas rumput. Sementara 2 orang lagi sedang menyiksa dia. Sudah pasti mereka juga yang mengikatnya. Orang yang tergeletak itu, dibuka perutnya, darah dimana – mana ususnya sudah diluar perut dan sedang dicuci oleh kedua orang yang mengikatnya. Naropa mendekati mereka.
Naropa : “apa –apaan kalian”
Pria A : “bukan urusanmu